Kalumpang Lompoa – Dalam rute perjalanan pulang dari Sinjai, mampirlah kami di Bantaeng. Kota ini memang terkesan lebih sejuk nan rindang. Tetapi, kami telah jadi biasa bersama kondisi kotanya yang bersih. Cerita dari seorang kawan berkenaan kawanan pohon tua yang terjaga, lebih memikat. Kami pilih ke sana ketimbang menikmati senja di pantai Marina.

Jaraknya kira-kira 10 kilometer dari pusat kota Bantaeng atau kira-kira lima belas menit selagi tempuh. Sebelum kelanjutannya tiba di Passangarrang, Kecamatan Gantarang Keke, kami melalui sedikit jalan berkelok yang sempit. Area hutan adat, persawahan dan kebun-kebun membentang hijau laksana sebuah lukisan. Suasana yang memicu kami betah dalam perjalanan.

“Kalumpang Lompoa”, begitu warga kira-kira menyebutnya. Suasananya memang cukup mistis, lebih-lebih karena kami berkunjung di penghujung sore jelang magrib.

Di sana, kami takjub bersama beberapa pohon besar. Batangnya berdiameter besar, kira-kira hingga enam orang dewasa bisa berangkulan mengelilingi pohonnya. Sementara tangkai dan daunnya meranggas bebas berpuluh-puluh meter. Itu tak seberapa, sekiranya dibandingkan akar-akarnya yang berpendar di tanah. Menjalar ke mana-mana laksana ular berseliweran.

“Apakah tempat ini keramat bagi warga?” Tanya seorang kawan pada seorang tetua di sana.

“Yah, begitulah bagi beberapa orang,” katanya.

Mungkin itulah sebabnya, pohon ini tumbuh lestari dan terawat hingga sekarang. Mistis dan kepercayaan pada pepohonan memang pernah berkembang di banyak tempat di Indonesia.

“Entah kenapa, pohon-pohon berjatuhan dan kehilangan aura mistiknya, atas nama modernisasi,” kata saya berdiskusi bersama kawan-kawan.

Kami berkeliling di sana hingga petang menjemput. Berdiskusi bersama warga sekitar. Berikut 4 fakta unik di balik kelestarian pohon raksasa “kalumpang lompoa” di Bantaeng yang kami temukan.

Mulai langka di Bantaeng

Warga kira-kira menyebutnya “pohon kalumpang”, atau pohon kepuh. Dalam bhs latin dinamakan sterculia foetida linnini. Pohon kepuh memang satu type yang bisa tumbuh tinggi hingga 40 meter. Kepuh dalam bhs Inggris berarti “wild almond” konon karena wujud bijinya menyerupai biji almond. Kini, pohon ini terhitung langka bersamaan pertumbuhan lahan pertanian dan perkebunan.

Sudah berusia 600 tahun

Menurut pernyataan tetua di Passangarrang, pohon raksasa ini telah berusia kira-kira 600 tahun. Konon pohon ini merupakan peninggalan kerajaan Butta Toa yang terus dilestarikan untuk mengenang kejayaan sejarah.

Dikeramatkan beberapa warga

Hingga selagi ini, masih banyak warga yang berdatangan di “kalumpang lompoa” sembari mempunyai makanan tertentu. Ritual paling terkenal di sana adalah upacara bakar ayam kampung lantas makan bersama.

Sebenarnya, ritual ini adalah anggota dari rasa syukur kepada yang maha kuasa. Dahulu, wilayah ini jadi tempat berkumpul dan penyerahan hasil bumi yang dilakukan bersama pesta rutinitas tradisional. Namun, budaya sesajen perlahan berkurang sejak masuknya Islam di Bantaeng.

Banyak orang percaya bahwa pohon raksasa ini dihuni mahluk halus yang merupakan leluhur tanah keke. Konon, disaat pohon itu bakal ditebang, tiba-tiba tempat tersebut dilanda banjir. Di banyak daerah, pohon kepuh memang sering dinamai “pohon genderuwo”, mungkin karena pohonnya yang besar dan terkesan angker.

Bergeser sebagai tempat wisata

Daya tarik tempat ini memang bisa dikembangkan ulang agar jadi satu spot alternatif bagi wisatawan. Pemerintah Daerah Bantaeng menggelar festival Gantarang Keke, setiap tahunnya di wilayah ini. Sebab baruga berwujud tempat tinggal panggung telah dibangun di sekitarnya. Sebelumnya memang ada ritual turun temurun setiap 10 bulan sya’ban sejak dahulu –kini momen ini jadi festival meriah setiap tahunnya.

Sepanjang jalan pulang ke kota Makassar, kami berdiskusi berkenaan pohon dan bagaimana nenek moyang terdahulu melestarikannya bersama klaim mistis. Tetapi, teror “animisme” pada orang-orang terdahulu yang memelihara pepohonan tua layaknya virus mematikan. Setelahnya, pohon-pohon bertumbangan. Ditebang massif, identik selagi kami tak ulet menanam kembali.

Kami kelanjutannya paham, betapa pepohonan menyimpan mau pada cinta kita. Tentu agar kami tak selamanya melihatnya sebagai objek yang tak berdaya—yang selamanya terbayang bisa menjelma jadi duit.